Ketika Filsafat dan Bahasa Saling Bercumbu

Bahasa adalah sine qua non, sesuatu yang mesti ada bagi kebudayaan manusia. Lewat bahasa manusia mengabtraksikan seluruh pengalaman empiris, rasional dan sepiritual secarakonseptual, sistematis dan terstruktur, kalau dalam filsafat Islam disebut dengan tasawur yang kemudian ada proses jastifikasi yang disebut  tashdiq, dan pada gilirannya melahirkan dunia simbolik, yang menembus sekat-sekat ruang dan waktu. Dunia amanusia tidak lagi dibatasi oleh realitas fisik semata.

Tetapi dengan bahasa dan pemahaman makna yang mendalam manusia mamapu memasuki dunia lain, yang jauh lebih luas dan kompleks. Sebagaimana filsafat Islam mengkajinya dengan sebutan mistisime atau sering disebut juga dengan Irfan. Dengan bahasa manusia mamapu menangkap makna-makna yang etersembunyi dari dunia lain. Bahasa abagi manusia telah memeperluas cakrawala dunia. Nama-nama yang ada dalam cakrawala dunianya diberi label hingga sehingga denga label ini manusia menciptakan jaringan komunikasi dan memebangun makna-makna baru. Akhirnya berbagai rahasia alam pun mulai tersibak dengan sendirinya.

Pemikiran yang perlu dikemukakan kembali disini ialah bahwa relasi antara filsafat dan bahasa memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya tidak dapat dipisahkan, baik secara mana suka maupun semena-mena. Filsafat tidak dapat diceraikan dari bahasa. Suatu sistem filsafat sebenarnya dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan kegiatan perenungan kefilsafatan sendiri pun dapat dipandang sebagai sebuah upaya penyusunan bahasa. Hasil pernungan kefilsafatan ini pun seterusnya dikomunikasikan, diungkapkan, distrukturkn, dikonstruksikan, dan di transpormasikan melalui bahasa. Bahas bagi filsafat merupakan sesuatu hal yang yang sangatpenting adanya, filsafat tanpa bahasa akan segera menemui kematiannya.

Hal ini sepadan dengan apa yang dilakukan Socrates (479-399 SM) yag melakukan kerja keras untuk meluruskan ungkapan-ungkapan dan pernyataan kaum sofis yang telah menggunakan bahasa-bahasa “jaddal”(retoris), yang kemudian dikenal belakangan ini dengan logika falasi, untuk mempertahankan pendapatnya bahwa manusia adalah ukuran kebenaran.

Kebenaran itu bersifat private (pribadi) pada mulanya, dan tidak ada kebenaran umum, yang ada hanyalah kebenaran relatif. Dengan meode dialektis-kritis, yitu mendialogkan konsep untuk dikritisi, Socrates telah sampai pada kebenaran objektif, yaitu kebenaran uum melalui jalan induksi. Dengan ditemukannya rumuan kebenaran umum, yaitu definisi atau pengertian umum maka pernyataan-pernyataan kaum Sofis itu pada akhirnya dapat diluruskan. Konseprelativisme dengan sendirinya menjadi gugur.

Kemudian tonggak estapeta kefilsafatan socrates tersebut dilanjutkan oleh muridnya yang luar biasa Aristoteles (384-322 SM), seorng filosof kelahiran Stageria. Ia telah menyusun aturan-aturan berfikir untuk menyusun suatu ungkapan atau bahasa yang benar. Dalam bukunya yang berjudul Organon, ia telah menyusun beberapa categories. Dalam On Interpretation, ia banyak membahas banyak ragam proposisi, dan dalam Prior Analitik, ia membahas berbaga sylogisme. Semua hal tersebut sangan erat berkaitan dengan bahasa.

Pada masa Islam, rumusan dari Aristoteles ini menjadi lebih jelas dan terstruktur dalam ilmu mantiq, diamana ilmu ini secara lebih khusus memebahas tentang cara bertutur lewat bahasadengan menggunakan aturan-aturan yang benar berdasarkan logika.

Dasar-dasar dan rumusan yang bertautat dengan bahasa yang dikembangkan Socrates, Aristoteles dan para ahli mantiq dan kemudian dikebangkan oleh generasi filosof selanjutnya seperti Descartes dengan rasionalisme dan Cogitonya. Dan Hume dengan Empirismenya, kemudian di tangan Imanuel Kant menjadi kritisismenya.

Selanjutnya pada periode filsafat kontemporer, rumusan-rumusan itu telah banyak dikembangkan oleh para penganut filsafat analitik, strukturalisme, pragmatisme, fenmenologi, ahli hermeneutika, dan aliran posmodernisme.

Khusus dalam periode filsafat kontemporer, bahasa bagi filsafat tidak sekedar mediumyang berfungsi mengkomunikasikan gagasan, tapi juga sebagai objek kajian. Sehubungan dengan hal ini, maka persoalan yang timbul kemudian adalah “problem tentang makna” suatu ungkapan. Bagi paara filusuf aliran bahasa (filsafat analitik), pengertian tentang makna dibahas berdasarkan kerja analitis kritis yang menghubungkan “makna” dengan kebenaran serangkaian fakta dalam dunia realitas di sekeliling kita. Ukuran kebenarannya Adalah akal sehat(common sense), bahasa logika dan penggunaan bahasa. Bagi strukturalisme makna bahasa ditentukan oleh sistem (struktur-struktur) bahasa itu sendiri. Sedangkan sistem itu tidak pernah mati, karena dasarrelasinya semena-mena. Karena itu makna suatu teks senantiasa bersifat terbuka. Ini berbeda dengan fenomenologi yang berpandangan makna bahasa memiliki hubungan eerat dengan subjek yang berbicara. Dengan demikiankata-kata itu sendiri sungguh-sungguh memiliki makna. Seperti dikatakan Merleau Ponty, pikiran atau makna tidak mendahului perkataan, tetapi terjelma dalam perkataan itu sendiri. “perkataan dan pikiran tidak dapat dipisahkan, seperti juga badan tidak dapat dipisahkan dari rohani”. Demikian kata Merleau Ponty.

Kaum pragmatis telah mengambil jalan lain, bagi mereka makna atau kebenaran suatu pernyataan seperti kalimat atau proposisi yang diungkapkan sangat bergantung pada apakah penyataan itu bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis dla tingkah laku. Artinya, “suatu pernyataan dikatakan mengandung makna sesuatu, yang menyebabkan kita melakukan sesuatu”. Sebaliknya, jika suatu pernyataan tidak ada pengaruhnya terhadap tingkah laku kita, maka ternyata pernyatan tersebut tidak mengandung makna sejauh yang bersangkutan dengan kita. Dengan demikian, makna suatu pernyataan tidak lagi dipandang sebagai hal yang bersifat statis, melainkan bersifat dinamis, dan memberikan reaksi terhadap dirinya sendiri.Wiliam James mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan terletak di dalam “cash value” atau harga tunainya.

Sementara itu menurut kaum posmodernis, makna suatu bahasa harus dianggap sebagai suatu proses yang berlangsung dalam keadaan perubahan terus menerus, tidak pernah sepenuhnya hadir ketika suatu kata digunakan, tetapi senantiasa membedakan diri dari dirinya sendiri, sekaligus tertunda dari kemungkinan untuk mencapai ketuhanan. Pandangan ini didasarkan pada tiga asumsi, sebagaimana dikatakan Jacob Derrida, yaitu:

  1. bahwa bahasa senantiasa ditandai oleh ketidak tetapan makna;
  2. bahwa mngingat ketidaksetabilan dan ketidaktetapan itu, tak adametode analisis (misalnya filsafat) yang memiliki klaim istimewa apapun otoritas dalam kaitannya dengan tafsir tekstual; dan
  3. bahwa dengan demikian tafsir adalah kegiatan yang tak terbatas dan lebih mirip dengan permainan daripada analisis seperti lazimnya kita pahami.

Leave a comment