Makna Manusia

Sebenarnya sedari dulu penulis ingin mengungkapkan dan mencari jawaban atas racauan-racauan penulis seputar bahasa dan filsafat. Kemudian bagaimana kaitannya dengan filsafat Islam. Apakah filsafat itu. Dan apakah bahasa itu. Apakah kajian bahasa termasuk pada kajian kefilsafatan. Apakah juga filsafat Islam membicarakan tentang kajian kebahasaan.

Akankah bahasa menjadi sesuatu yang tabu yang patut dibicarakan ketika tidak ada nialai filosofis di dalamnya seperti halnya pepatah mengatakan “tongkosong nyaring bunyinya”. Akankah orang yang banyak bicara tanpa memiliki bobot didalamnya “makna” yang patut dipetik dari penyampaiannya harus kita abaikan begitu saja. Ataukah itu hanya prsepsi kita yang kemudian menjastifikasi pembicaraan orang tersebut sebagai sesuatu yang sama sekali tidak bermakna.

Untuk sementara waktu penulis yakin bahwa kajian filsafat juga merupakan kajian kebahasaan. Sehingga keduanya sama sekali tidak bisa dipisahkan begitu saja. Ibarat dua sisi mata uang yang bila dipisahkan satu dari keduanya akan mempengaruhi kualitas dari nilai tukar mata uang tersebut. Mungkin tidak lagi disebut alat tukar, uang. Karena sudah berubah secara form, dan secara otomatis ada kemerosotan gradasi dalam hal mata uang tersebut. Seperti yang di yakini para filusuf muslim. Materi yang rendah yang mereka namai sebagai hayula. Contoh: kayu dibakar api, kemudian kayu tersebut bukan lagi dinamakan sebagai kayu, tetapi kita namai sebagai arang atau abu.

Demikian pula yang terjadi pada uang yang saya contoh diatas. Ketika filsafat tidak lagi membutuhkan bahasa dalam penyampaiannya bagaimana manusia bisa tahu dan faham tentang filsafat kalaulah tidak lagi dibahasakan. Pula sebaliknya bahasa tidak akan ada tatkala manusia sama sekali tidak mempunyai maksud dan tujuan untuk mengutarakan sesuatu ketika bahasa tidak lagi mempunyai makna filosofis yang terkandung di dalamnya bagaiman manusia mampu mengungkapkan isi hati, maksud dan tujuannya sedangkan orang tersebut tidak punya maksud dan tujuan apa-apa. Kalau lah demikian hal tersebut lebih parah lagi, analogi di atas sudah mencerabut kualitas kemanusiaan yang acapkali dinobatkan sebagai “hayawan nathiq”.

Leave a comment